“Fondasi dari hukum syariat yang adil tidak dibangun oleh kelompok-kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam masyarakat, dan bukan pula oleh kelompok-kelompok yang hanya mengejar kepentingan partisannya sendiri. Fondasi hukum syariat yang adil ini hanya dibangun oleh Tuhan. Akan tetapi, hukum syariat yang adil tersebut dijalankan, dijelaskan, dan diterapkan pada realita-realita baru melalui tindakan perundang-undangan khusus oleh sekelompok orang yang dipilih dan diawasi oleh rakyat. Maka dari itu, rakyat punya kedaulatan atas sekelompok
orang/badan tersebut, yang meliputi proses pemilihan, pengawasan, dan hak
pencabutan/pemberhentian. Inilah yang disebut sebagai kewenangan rakyat
(sultat al–umma) atau proses musyawarah.” (Cetak miring oleh penulis
sebagai penekanan)
-Rashid al-Ghannushi, al-Hurriyyat al-‘amma fi’l-dawla al-Islamiyya, 106.
orang/badan tersebut, yang meliputi proses pemilihan, pengawasan, dan hak
pencabutan/pemberhentian. Inilah yang disebut sebagai kewenangan rakyat
(sultat al–umma) atau proses musyawarah.” (Cetak miring oleh penulis
sebagai penekanan)
-Rashid al-Ghannushi, al-Hurriyyat al-‘amma fi’l-dawla al-Islamiyya, 106.
PEMERINTAH Indonesia lambat mengatasi pandemi COVID-19 sejak awal. Ketika
negara lain mulai mengambil kebijakan serius menghadapi virus mematikan ini,
pemerintah malah sebaliknya. Mereka justru membuat kebijakan mengkorting
harga tiket pesawat dan mengucurkan dana triliunan rupiah untuk para
pemengaruh agar mempromosikan Indonesia. Semuanya dilakukan agar industri pariwisata tetap berdenyut. Dua contoh kebijakan ini menunjukkan logika
pemerintah yang memprioritaskan kepentingan ekonomi jangka pendek, alih-alih melindungi masyarakat.
Untuk menutupi dampak destruktif COVID-19, pemerintah lantas berkilah dengan
narasi ketuhanan, terutama dari perspektif Islam. Beragam kilah keagamaan ini,
misalnya bahwa masyarakat tidak terkena dampak karena doa kunut dan mereka
yang meninggal karena COVID-19 akan masuk surga, menunjukkan bahwa mereka
sebenarnya tengah mengerdilkan peran dan posisi Tuhan itu sendiri. Alih-alih
menjadi inspirasi keadilan dan komitmen kasih sayang untuk rakyat, pemerintah
telah menjadikan Tuhan sebagai topeng untuk menutupi ketidakmauan mereka
menjalankan tanggung jawab sebagai ‘ulil amri’.
Al-Qur’an jelas mengutuk obsesi materialistik yang mengorbankan kehidupan mereka yang lemah seperti kasus di atas dengan ancaman neraka (Qur’an 10: 7-8, 17: 18, 4: 10). Lalu, apa yang salah sehingga posisi Tuhan dalam teologi politik Indonesia yang (kabarnya) berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi sedemikian rendahnya? Mengapa klaim-klaim keagamaan yang dilontarkan para pejabat—sebagian juga merupakan para pemuka agama—malah mereduksi makna teologis yang dalam menjadi sekadar bagian dari praktik politik yang kotor? Kesalahan utama dalam teologi politik pada konteks pemerintahan di Indonesia adalah identifikasi ‘suara Tuhan’ yang dianggap terletak pada kedaulatan pemerintah.
Pemerintahan Joko Widodo berdiri di atas asumsi bahwa merekalah
agen absolut kedaulatan, dan itu sebenarnya tidak jauh berbeda dari
pemerintahan ‘syar’i’ yang diimpikan oleh para pendukung Islamisme garis keras.
Hal ini terlihat dari cara-cara non-demokratis dan anti-kritik yang mereka
praktikkan berkali-kali.
Perbedaan mereka dengan pemerintahan ‘syar’i’ yang diimajinasikan para
Islamisme garis keras hanyalah basis legitimasi dari kekuasaan. Sementara Islamis
percaya bahwa konsep hukum syariah yang ahistoris dan anti-kritik merupakan
basis legitimasi keberadaan mereka, pemerintahan Jokowi percaya itu bersumber
dari kemenangan elektoral. Dengan kemenangan di pemilu, mereka merasa sahih
mengasingkan masyarakat yang telah memilihnya dari pembuatan dan
implementasi kebijakan.
Bagi para Islamis garis keras, Tuhan telah memberikan kerangka final untuk
kehidupan masyarakat di segala konteks yang kemudian menafikan proses
demokrasi, sementara bagi pemerintahan Jokowi, kemenangan elektoral adalah
basis yang cukup untuk menunjuk diri mereka sendiri sebagai ‘Tuhan’ dan
menafikan proses demokrasi.
Lalu, di manakah sebenarnya ‘suara’ Tuhan yang sesungguhnya?
Sejarah teologi politik Islam menunjukkan bahwa legitimasi suatu pemerintahan
tidak terlepas dari suara masyarakat. Bahkan legitimasi Nabi Muhammad saw
untuk menjadi pemimpin pun tak terlepas dari kesukarelaan para anggota
masyarakat (March, 2013). Sementara itu, dalam konteks teologi politik Islam
modern, para pemikir seperti Rashid al-Ghannushi dan Mohammad Fadel telah
menyatakan bahwa elemen keterwakilan demokratis tidak dapat dipisahkan dari
konseptualisasi pemerintahan yang Islami (bedakan dengan pemerintahan yang
Islamis). Konsepsi pemerintahan yang Islami, menurut al-Ghannushi, berdiri di
atas prinsip ‘aqd al-istikhlaf (perjanjian keterpilihan) yang memprioritaskan posisi
manusia sebagai deputi ketuhanan di muka bumi (khalifa, Qur’an 2:30). Ini berarti,
seperti yang tercantum dalam kutipan pembuka artikel ini, kedaulatan
pemerintah dibangun dari kepercayaan anggota masyarakat yang memilihnya.
Dengan demikian, posisi anggota masyarakat dalam konsepsi teologi politik ini lebih dari sekadar obyek kebijakan politik yang teralienasi dari proses pembuatan dan pertimbangan kebijakan, melainkan adalah rekanan setara pemerintah.
Seperti yang dikatakan Mohammad Fadel, seorang teolog dan fuqaha, satu prinsip
pokok pemikiran teologi politik pra-modern Sunni Islam adalah, “… penguasa dan
pejabat pemerintahan melaksanakan wewenangnya dalam kapasitas mereka
sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat muslim, dan dengan demikian,
mereka hanyalah pekerja yang tugasnya adalah untuk mencapai kemaslahatan
bersama bagi seluruh masyarakat muslim.” (Fadel, 2018).
Dari konseptualisasi kedaulatan individu dan pemerintah dalam konteks Islam
klasik maupun modern tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa teologi politik
Islam menempatkan kedaulatan rakyat sebagai salah satu ekspresi dari
kedaulatan Tuhan. Dalam konteks ini, legitimasi politik pemerintahan tak lebih
dari sekadar prasyarat praktis yang memungkinkan pejabat dapat menjalankan
mandat dari rakyat. Legitimasi politik bukanlah suatu pernyataan ontologis yang
dapat mengangkat derajat seseorang melebihi manusia lain karena hal itu akan
dapat diklasifikasikan sebagai tindakan menduakan Tuhan. Dengan kata lain,
pemberian legitimasi politik tidak menjadikan seseorang sebagai ‘Tuhan’ yang
menguasai kehidupan manusia lain.
Lalu bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan yang Islami dan berasaskan
ketuhanan bertindak? Muqtedar Khan, seorang teoretikus teologi politik Islam
lain, mengonseptualisasikan etika pemerintahan berasaskan ketuhanan sebagai pemerintahan yang menjalankan kepemimpinan dalam prinsip ihsan–melakukan yang terbaik/memperindah (Khan, 2019). Serupa dengan al-Ghannushi dan Fadel, Khan memaknai kedaulatan pemerintah sebagai proses pelembagaan keinginan kolektif masyarakat dalam sebuah negara. Dengan demikian, ia pun memandang rakyat sebagai agen dari ‘Kedaulatan Tuhan’ (hakimiyya) di muka bumi. Pemerintahan yang berbasiskan prinsip ihsan ditopang oleh dua pilar utama–yang harus menjadi bagian dari praktik politik para pejabat. Pilar pertama adalah fokus pemerintahan kepada pembentukan nilai-nilai kebajikan dan bukan kepada pembentukan elemen-elemen identitas yang sifatnya superfisial. Dalam konteks ini, negara berasas ketuhanan akan terlihat berlawanan dari prinsip kenegaraan
Machiavelli di mana pencitraan untuk terlihat adil jauh lebih berharga daripada
berlaku adil itu sendiri. Dalam negara berasaskan ihsan, praktik kebajikan
menjadi fokus proses pembangunan negara-bangsa bukan karena praktik tersebut
akan membawa akumulasi kekuasaan, melainkan karena praktik tersebut adalah
perilaku yang adil (Khan, 2019).
Pilar kedua negara berbasis ihsan terletak pada relasi kritis antara masyarakat
dan pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat wajib untuk menjalankan prinsip
muraqaba (keawasan, kesadaran kritis) dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan
pemerintah demi mencapai kemaslahatan bersama. Di sisi lain, pemerintah harus
menjalankan prinsip muhasaba (pertanggungjawaban) dalam setiap kebijakan (Khan, 2019). Dengan kata lain, teologi politik Islam mengajarkan bahwa
masyarakat memiliki posisi setara terhadap dan/atau lebih tinggi daripada pemerintah dalam suatu negara. Dalam situasi pandemi saat ini, bagaimanakah perwujudan negara berbasis ihsan itu? Lalu, lebih jauh dari itu, di mana kita dapat menemukan ‘suara’ Tuhan?
Posisi teologi politik Islam jelas menyatakan bahwa representasi ‘suara’ Tuhan terletak pada anggota masyarakat yang memilih para pejabat untuk mengupayakan kemaslahatan bersama. Legitimasi politik adalah konsep praksis yang berfungsi untuk mendapuk beberapa individu menjadi pelayan masyarakat, bukan proses penuh keajaiban yang mengubah individu-individu terpilih menjadi manusia setengah dewa.
Konsep pemerintahan berbasis ihsan berangkat dari asumsi bahwa kewenangan
politik adalah fungsi pengabdian, bukan fungsi kekuasaan. Absennya pemerintah
mengadakan jaminan keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat dalam
pandemi COVID-19 adalah indikasi bahwa mereka membangun kuasa tanpa asas
ketuhanan. Lebih jauh, penggunaan narasi-narasi keagamaan seperti ibadah, doa,
surga, dan takdir untuk menutupi dampak pandemi tidak lain adalah penghinaan
terhadap asas ketuhanan dan keberagamaan itu sendiri.
Enggan untuk mendengarkan ‘suara’ Tuhan dalam suara rakyat, pemerintah
malah memilih untuk meludahi Sang Maha Agung dengan menggunakan nama-
Nya sebagai tudung yang menutupi kebobrokan praktik politik dan kebijakan
mereka. (red) Politik Oligarki