Kamis, 09 Juli 2020

Mencari ‘Suara’ Tuhan di Tengah Pandemi COVID-19

“Fondasi dari hukum syariat yang adil tidak dibangun oleh kelompok-kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam masyarakat, dan bukan pula oleh kelompok-kelompok yang hanya mengejar kepentingan partisannya sendiri. Fondasi hukum syariat yang adil ini hanya dibangun  oleh Tuhan. Akan tetapi, hukum syariat yang adil tersebut dijalankan, dijelaskan, dan diterapkan pada realita-realita baru melalui tindakan perundang-undangan khusus oleh sekelompok orang yang dipilih dan diawasi oleh rakyat. Maka dari itu, rakyat punya kedaulatan atas sekelompok
orang/badan tersebut, yang meliputi proses pemilihan, pengawasan, dan hak
pencabutan/pemberhentian. Inilah yang disebut sebagai kewenangan rakyat
(sultat al–umma) atau proses musyawarah.” (Cetak miring oleh penulis
sebagai penekanan)
-Rashid al-Ghannushi, al-Hurriyyat al-‘amma fi’l-dawla al-Islamiyya, 106.

PEMERINTAH Indonesia lambat mengatasi pandemi COVID-19 sejak awal. Ketika
negara lain mulai mengambil kebijakan serius menghadapi virus mematikan ini,
pemerintah malah sebaliknya. Mereka justru membuat kebijakan mengkorting
harga tiket pesawat dan mengucurkan dana triliunan rupiah untuk para
pemengaruh agar mempromosikan Indonesia. Semuanya dilakukan agar industri pariwisata tetap berdenyut. Dua contoh kebijakan ini menunjukkan logika
pemerintah yang memprioritaskan kepentingan ekonomi jangka pendek, alih-alih melindungi masyarakat.
Untuk menutupi dampak destruktif COVID-19, pemerintah lantas berkilah dengan
narasi ketuhanan, terutama dari perspektif Islam. Beragam kilah keagamaan ini,
misalnya bahwa masyarakat tidak terkena dampak karena doa kunut dan mereka
yang meninggal karena COVID-19 akan masuk surga, menunjukkan bahwa mereka
sebenarnya tengah mengerdilkan peran dan posisi Tuhan itu sendiri. Alih-alih
menjadi inspirasi keadilan dan komitmen kasih sayang untuk rakyat, pemerintah
telah menjadikan Tuhan sebagai topeng untuk menutupi ketidakmauan mereka
menjalankan tanggung jawab sebagai ‘ulil amri’.

Al-Qur’an jelas mengutuk obsesi materialistik yang mengorbankan kehidupan mereka yang lemah seperti kasus di atas dengan ancaman neraka (Qur’an 10: 7-8, 17: 18, 4: 10). Lalu, apa yang salah sehingga posisi Tuhan dalam teologi politik Indonesia yang (kabarnya) berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi sedemikian rendahnya? Mengapa klaim-klaim keagamaan yang dilontarkan para pejabat—sebagian juga merupakan para pemuka agama—malah mereduksi makna teologis yang dalam menjadi sekadar bagian dari praktik politik yang kotor? Kesalahan utama dalam teologi politik pada konteks pemerintahan di Indonesia adalah identifikasi ‘suara Tuhan’ yang dianggap terletak pada kedaulatan pemerintah. 

Pemerintahan Joko Widodo berdiri di atas asumsi bahwa merekalah
agen absolut kedaulatan, dan itu sebenarnya tidak jauh berbeda dari
pemerintahan ‘syar’i’ yang diimpikan oleh para pendukung Islamisme garis keras.
Hal ini terlihat dari cara-cara non-demokratis dan anti-kritik yang mereka
praktikkan berkali-kali.
Perbedaan mereka dengan pemerintahan ‘syar’i’ yang diimajinasikan para
Islamisme garis keras hanyalah basis legitimasi dari kekuasaan. Sementara Islamis
percaya bahwa konsep hukum syariah yang ahistoris dan anti-kritik merupakan
basis legitimasi keberadaan mereka, pemerintahan Jokowi percaya itu bersumber
dari kemenangan elektoral. Dengan kemenangan di pemilu, mereka merasa sahih
mengasingkan masyarakat yang telah memilihnya dari pembuatan dan
implementasi kebijakan.
Bagi para Islamis garis keras, Tuhan telah memberikan kerangka final untuk
kehidupan masyarakat di segala konteks yang kemudian menafikan proses
demokrasi, sementara bagi pemerintahan Jokowi, kemenangan elektoral adalah
basis yang cukup untuk menunjuk diri mereka sendiri sebagai ‘Tuhan’ dan
menafikan proses demokrasi.
Lalu, di manakah sebenarnya ‘suara’ Tuhan yang sesungguhnya?

Sejarah teologi politik Islam menunjukkan bahwa legitimasi suatu pemerintahan
tidak terlepas dari suara masyarakat. Bahkan legitimasi Nabi Muhammad saw
untuk menjadi pemimpin pun tak terlepas dari kesukarelaan para anggota
masyarakat (March, 2013). Sementara itu, dalam konteks teologi politik Islam
modern, para pemikir seperti Rashid al-Ghannushi dan Mohammad Fadel telah
menyatakan bahwa elemen keterwakilan demokratis tidak dapat dipisahkan dari
konseptualisasi pemerintahan yang Islami (bedakan dengan pemerintahan yang
Islamis). Konsepsi pemerintahan yang Islami, menurut al-Ghannushi, berdiri di
atas prinsip ‘aqd al-istikhlaf (perjanjian keterpilihan) yang memprioritaskan posisi
manusia sebagai deputi ketuhanan di muka bumi (khalifa, Qur’an 2:30). Ini berarti,
seperti yang tercantum dalam kutipan pembuka artikel ini, kedaulatan
pemerintah dibangun dari kepercayaan anggota masyarakat yang memilihnya.
Dengan demikian, posisi anggota masyarakat dalam konsepsi teologi politik ini lebih dari sekadar obyek kebijakan politik yang teralienasi dari proses pembuatan dan pertimbangan kebijakan, melainkan adalah rekanan setara pemerintah.

Seperti yang dikatakan Mohammad Fadel, seorang teolog dan fuqaha, satu prinsip
pokok pemikiran teologi politik pra-modern Sunni Islam adalah, “… penguasa dan
pejabat pemerintahan melaksanakan wewenangnya dalam kapasitas mereka
sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat muslim, dan dengan demikian,
mereka hanyalah pekerja yang tugasnya adalah untuk mencapai kemaslahatan
bersama bagi seluruh masyarakat muslim.” (Fadel, 2018). 

Dari konseptualisasi kedaulatan individu dan pemerintah dalam konteks Islam
klasik maupun modern tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa teologi politik
Islam menempatkan kedaulatan rakyat sebagai salah satu ekspresi dari
kedaulatan Tuhan. Dalam konteks ini, legitimasi politik pemerintahan tak lebih
dari sekadar prasyarat praktis yang memungkinkan pejabat dapat menjalankan
mandat dari rakyat. Legitimasi politik bukanlah suatu pernyataan ontologis yang
dapat mengangkat derajat seseorang melebihi manusia lain karena hal itu akan
dapat diklasifikasikan sebagai tindakan menduakan Tuhan. Dengan kata lain,
pemberian legitimasi politik tidak menjadikan seseorang sebagai ‘Tuhan’ yang
menguasai kehidupan manusia lain.

Lalu bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan yang Islami dan berasaskan
ketuhanan bertindak? Muqtedar Khan, seorang teoretikus teologi politik Islam
lain, mengonseptualisasikan etika pemerintahan berasaskan ketuhanan sebagai pemerintahan yang menjalankan kepemimpinan dalam prinsip ihsan–melakukan yang terbaik/memperindah (Khan, 2019). Serupa dengan al-Ghannushi dan Fadel, Khan memaknai kedaulatan pemerintah sebagai proses pelembagaan keinginan kolektif masyarakat dalam sebuah negara. Dengan demikian, ia pun memandang rakyat sebagai agen dari ‘Kedaulatan Tuhan’ (hakimiyya) di muka bumi. Pemerintahan yang berbasiskan prinsip ihsan ditopang oleh dua pilar utama–yang harus menjadi bagian dari praktik politik para pejabat. Pilar pertama adalah fokus pemerintahan kepada pembentukan nilai-nilai kebajikan dan bukan kepada pembentukan elemen-elemen identitas yang sifatnya superfisial. Dalam konteks ini, negara berasas ketuhanan akan terlihat berlawanan dari prinsip kenegaraan
Machiavelli di mana pencitraan untuk terlihat adil jauh lebih berharga daripada
berlaku adil itu sendiri. Dalam negara berasaskan ihsan, praktik kebajikan
menjadi fokus proses pembangunan negara-bangsa bukan karena praktik tersebut
akan membawa akumulasi kekuasaan, melainkan karena praktik tersebut adalah
perilaku yang adil (Khan, 2019).

Pilar kedua negara berbasis ihsan terletak pada relasi kritis antara masyarakat
dan pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat wajib untuk menjalankan prinsip
muraqaba (keawasan, kesadaran kritis) dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan
pemerintah demi mencapai kemaslahatan bersama. Di sisi lain, pemerintah harus
menjalankan prinsip muhasaba (pertanggungjawaban) dalam setiap kebijakan (Khan, 2019). Dengan kata lain, teologi politik Islam mengajarkan bahwa
masyarakat memiliki posisi setara terhadap dan/atau lebih tinggi daripada pemerintah dalam suatu negara. Dalam situasi pandemi saat ini, bagaimanakah perwujudan negara berbasis ihsan itu? Lalu, lebih jauh dari itu, di mana kita dapat menemukan ‘suara’ Tuhan?

Posisi teologi politik Islam jelas menyatakan bahwa representasi ‘suara’ Tuhan terletak pada anggota masyarakat yang memilih para pejabat untuk mengupayakan kemaslahatan bersama. Legitimasi politik adalah konsep praksis yang berfungsi untuk mendapuk beberapa individu menjadi pelayan masyarakat, bukan proses penuh keajaiban yang mengubah individu-individu terpilih menjadi manusia setengah dewa.

Konsep pemerintahan berbasis ihsan berangkat dari asumsi bahwa kewenangan
politik adalah fungsi pengabdian, bukan fungsi kekuasaan. Absennya pemerintah
mengadakan jaminan keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat dalam
pandemi COVID-19 adalah indikasi bahwa mereka membangun kuasa tanpa asas
ketuhanan. Lebih jauh, penggunaan narasi-narasi keagamaan seperti ibadah, doa,
surga, dan takdir untuk menutupi dampak pandemi tidak lain adalah penghinaan
terhadap asas ketuhanan dan keberagamaan itu sendiri.

Enggan untuk mendengarkan ‘suara’ Tuhan dalam suara rakyat, pemerintah
malah memilih untuk meludahi Sang Maha Agung dengan menggunakan nama-
Nya sebagai tudung yang menutupi kebobrokan praktik politik dan kebijakan
mereka. (red) Politik Oligarki

Kamis, 14 Mei 2020

Hegemoni dan Intelektual Antonio Garamsci

HEGEMONI DAN INTELEKTUAL

oleh: M. Faisol Amri*

Dimana ada kekuasaan, disana muncul perlawanan terhadapnya” (Gramsci)

Istilah hegemoni muncul dari yunani kuno ‘eugemonia’ yang diklaim oleh dominasi posisi negara-negara kota (polism atau citystate) saat dominasi Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar. Teori hegemoni sesungguhnya adalah kritik terhadap konsep pemikiran yang mereduksi dan menjustifikasi bahwa esensi suatu entitas adalah  satu-satunya kebenaran yang mutlak. Terutama reduksionisme dan esensialisme yang dianut oleh kalangan Marxisme dan non Marxsisme. Dalam kalangan penganut marxisme telah lama terjadi perdebatn panjng tentang basic structure (sekelas ekonomi) dan superstructur (sekelas sosial, budaya, ideologi, politik, dsb), dimana tafsir marxisme klasik memahmi bahwa struktur ekonomi dasar mempengaruhi super struktur. Perjuangan kelas direduksi menjadi ekonomi, perjuangan sosialisme direduksi menjadi ekonomi, sehingga akar pemahamannya menafikan gerakan-gerakan lain seperti movement, gender, gerakan budaya, civil right, lingkungan, gerakan perempuan, dan lain sebagainya.  
  
Pemikiran Antonio Gramsci juga merupakan kritik terhadap marxisme klasik yang berasumsi dengan positivistic dan mekanistik utamanya yang berkaitan dengan revolusi dan gerakan sosial. Teori hegemoni sendiri sejatinya sebagai antitesa terhadap pemikiran positivistic ala marxixme pada saat itu. Dalam hal seperti ini kaitannya adalah pemikiran Gramsci dimana bahwa formasi social kapitalistik yang memuat diskriminasi dan penindasan didalamnya yang juga terdapt—rezim Mussolini—tidak secara otomatis menimbulkn revolusi sosisal, bahkan dalam ksus seperti ini tak jrang samapai ‘de-ploletarisasi’ dimana tak jarang kaum pekerja rela menerima penderitaan dan bahkan sampai mendukung kekuasaan Mussolini. 

Awal Gramsci tentang teori Hegemoni adalah pandangannya tentang kelas dimana kelas-kelas atas berkuasa dan bentuk persuasi, penindasan dan kekerasan terhadap kelas bawah. Hegemoni Gramsci tidak mengarah pada kekuasaan tetapi lebih pada penggunaan kepemimpinan dan ideologisme. Menurut Grammsci sebauh organisasi konsensus didamana ketertundukan selalu diperoleh dari penguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni. Bagi Gramsci sendiri konsensus lebih mengarah tercipta dari dasar adanya persetujuan, sebuah konsesnsuus yang diterima kelas pekerja pada daarnya bersifat pasif. Artinya bukan berarti menganggap adanya sebuah konsensus pekerja dianggap sebagai struktur sosial yang ada itu adalah keinginan pekerja itu sendiri, melainkan lebih karena mereka kehilangan basis konseptual yang menampung mereka untuk memahami realitas sosial secara efektif. 
Dua ha yang menjadi dasar kurangnya dasar konseptual bagi kalangan buruh, yaitu pendidikan (edukasi) dan mekanisme kelembagaan (birokrasi). Pendidiakn yang ada tak membngkitkan sikap berfikir kritis dan sistematis melainkan lebih pada mekanisme bernagkat-pulang  atau belajar-pengabdian. Di lain pihak, mekanisme kelembagan (pesantren, partai-partai politik, media masa, NGO, LSM, dan lain sebagainya) menjadi buah kaki tangan kelompok orang yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominasi. Gramsci memandang watak sebuah konsesnsus dari masyarakat kapitalis sesungguhnya adalah kesadaran yang terbuang dan hegemoni yang dlakukan oleh kaum borjouis adalah samar-samar. Ada tiga tingkatan hegemoni yang menurut Gramsci timbul akibat realitas ini, 
Pertama, hegemoni total (integral) ditandai dengan afiliasi massa yangmendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan kesatuan moral dan intelektual yang kokoh, yang tampak dari hubungan organis antara si-pemerintah dan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diwarnai dengan antagonisme dan perlawanan kntradiksi secara sosial maupun etis. Kedua, hegemoni yang merosot ditandai dengan adanya potensi disintegrasi atau konflik yang merambah di permukaan, artinya meskipun sistem pokok telahmencapai kebutuhan dan sasarnnnya,tetapi mentalitas masyarakat tidak sungguh-sungguh elaras dengan apa yang dipikirkan dan apa yang dialami. Ketiga, hegemoni minimum adalah hegemoni yang dilandasi kesatuan ideologis antara elit ekonomi, politik dan intelektual, yang berlangsung dlam keengganan masa dalam ikut campur terhadap apa ang telah duikuasai. 

Konseptualisasi hegemoni Gramsci yang dituangkan dalam tiga aspek--masyarakat politik (political society), masyarakat sipil (civil society), dan ekonomi--kemudian menjadi diskursus  baru dalam mengenai konsep negara. Dimana konsep negara integral atau negara yang diperluas adalah buah asimilasi perpaduan antara masyarakat politik yang menjadi sumber koersi dengan masyarakat sipil dimana kepemimpinan hegemonik terbangun. Berbeda dengan negara totaliter yang tidak memiliki unsur sukarela, negara integral masih menyediakan unsur kesukarelaan tanpa dipaksa. Konsep ini menggambarkan bahwa kekuasaan tidak hanya berpusat pada negara, karena kekuasaan dipahamis sebuah hubungan sehingga hubungan masyarakat sipil juga merupakan hubungan kekuasaaan. Konsep Gramsci inilah yang kemudian dinilai berbeda dengan konsep Marxis klasik , termasuk lenin, yang melihat kekuasaan terpusat pada negara dan berada penuh dibawah kekuasaan kelas kapital.

Peran intelektual agaknya perlu dlihat dari pandangan Gramsci untuk melihat masyarakat transisi menuju sosialisme, ada dua catatan penting Gramsci dalam membahas intelektual dan perannya. Pertama, tentang perlunya menghapus kelas manual dan kelas intelektual yang telah lama mengakar dalam dunia kapitalisme, hal ini tentunya termasuk masyarakat sipil dan masyarakat politik. Kedua, tentang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, atau pengetahuan yang lahir dari karya monopoli kelas yang berkuasa, dan perlunya perubahan mendasar tentang hubungan antara manusia dan pengetahuan untuk mencapai sosialisme. 

Gramsci menolak pandangan tradisional bahwa intelektual hanya berasal dari ahli sastra, filsuf, dan seniman. Intelektual tidak berangkat dari setiap aktifitas berfikir, tetapi lebih pada aspek fungsi yang semua orang jalankan. Oleh karenanya menuryt Gramsci semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual. Sedikit berbeda dengan apa yang diutarakan Julien Benda pendapatnya menggambarkan sosok intelektual dalam sosok yang sangat ideal bahwa intelektual yaitu segelintir manusia yang sangat berbakat dan diberkahi moral filsuf raja. Atau pandangan intelektual sastra ‘Sartre’ yang agaknya lebih dekat dengan konsep tulisan dan sastra. Kaum intelektual gramsci disini adalah mereka yang mempunyai fungsi organisator dalam semua lapisan masyarakat, sehingga kaum intelektual tidak hanya berasal dari pemikir, penulis, seniman, tetapi juga organisator, seperti pegawai negri, pemimpin politik, ulama, guru, mereka yang berguna bagi masyarakat sipil, negara, sistem produksi seperti ahli mesin, manager dan kemudian teknokrat.

Selanjutnya Gramsci membagi antara intelektual organik dan intelektual tradisional. Intelektual tradisional adalah mereaka yang telah menjadi intelektual orgaik dalam model produksi foedal yang telah digantikan, atau menjadi intelektual organik dalam model produksi yang sedang dalam proses digantikan. Intelektual tradisional merupakan inteektual yang dapat dikategorikan dalam otonom dan merdeka dari kelompok sosial dominan sehingg mereka terlihat independen, otonom, serta menjauhkan diri dari masyarakat. kelompok ini (humanis) memisahkan intelegensia dari tatanan borjouis, inteektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society selain itu menurut Gramsci tugas intelektual tradisional adalah segera memutuskan ketidakmenentuan sikap dan segera bergabung dengan kelas-kels revolusioner. engan demikian, semua sudut pandang intelektual orgnik adalah buah embrio intelektual tradisional. Contoh dari intelektual tradisional adalah golongan filsuf, artis, sejarawan, para profesor, ulama dan rohaniwan.  

Sedangkan intelektual organik adalah adalah intelektual dan organisator politik, yang menyadari identitas yang mewakili da yang diwakili, serta gambaran yang riil tentang para eksekutpor kelas ekonomi atas. Fungsi yang dijalankan oleh intelektual organik adalah bertindak sebagai agen kelas untuk mengorganisir hegemoni dalam masyarakat dan mendominasi melalui aparat. Dengan demikian para manager, insinyur, teknisi adalah intelektual organik dalam bidang produksi. Politisi, penulis, akademisi, penyiar, wartawan adalah intelektual organik dalam masyarakat sipil. Sedangkan pegawai negri senior, perwira papan atas dalam kemiliteran, jakasa dalam pengadilan tinggi adalah intelektual organik dalam negara. Gramsci menyatakan jika kelas pekerja, buruh dan petani ingin beranjak dari kelas bawah untuk mengambil kepemimpinan bangsa, dan membangun kesadaran politik melalui reformasi moral dan intelektual, maka mereka harus menciptakan kelas organiknya sendiri.   

*penulis adalah Mahasiswa Universitas Brawijaya, dan anggota Gusdurian Malang. 
      
         

Mencari ‘Suara’ Tuhan di Tengah Pandemi COVID-19

“Fondasi dari hukum syariat yang adil tidak dibangun oleh kelompok-kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam masyarakat, dan bukan pula...